Jumat, 27 Desember 2013

(Desember) 2. Pelapisan social dan kesamaan drajat (UUD 29 ayat 2) Kesamaan drajat (perbedaan) Elite dan organisasi massa yang ada di Indonesia

Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat

setiap manusia memiliki peranan sosial yang berbeda – beda antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat sehari – hari. Dari peranan sosial yang berbeda – beda tersebut timbul penggolongan tingkat social atau biasa disebut pelapisan social yang dapat dilihat dari status social, jabatan, warna kulit, status ekonomi. Maka itu kita perlu berfikir perlu tidaknya pelapisan social itu?
Contoh pelapisan social yang tidak perlu adalah dari perbedaan ras kulit hitam dan kulit putih dimana pada waktu itu ras kulit hitam dianggap golongan rendah karena mereka hanya sebagai budak yang diperjual belikan oleh ras kulit putih. Namun lambat laun ras kulit hitam menuntuk persamaan atas hak nya sebagai wagra Negara hingga terjadi demostrasi dan kerusuhan antara warga ras kulit hitam dengan warga ras kulit putih dan pemerintah.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa tidak perlunya pelapisan social berdasarkan rasa atau perbedaan kulit karena warna kulit adalah karunia dari tuhan untuk mahluknya.
Contoh lain ada nya pelapisan social berdasarkan keturunan yang masih dianut oleh beberapa masyarakat. Seperti rakyat biaya yang masih tunduk pada keturunan rajanya. Hal ini diartikan sebagai rasa kesetiaan rakyat kepada rajanya. Dari sni bisa kita liat perlu tidaknya pelapisan social. Sama halnya pada suatu perusahaan dimana ada atasan dan bawahan. Pelapiasan ini dibuat sengaja untuk mengejar tujuan bersama. Didalam pelapisan ini ditentukan secar jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Pelapisan ini dirasa sangta perlu untuk kelangsungan hidup suatu perusahaan.
Dalam kesamaan derajat masyarakat terlah di atur pada Pasal di Dalam UUD 45 Tentang Persamaan Hak. Persamaan derajat di indonesia Dalam UUD 1945, hak dan kebebasan yang berkaitan dengan adanya persamaan derajat dan hak juga tercantum dalam pasal secara jelas yakni pasal 27, 28, 29, dan 31. Empat pokok hak asasi dalam empat pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Pokok pertama, tentang persamaan kedudukan dan kewajiban kewarganegaraan didalam hukum dan dimuka pemerintahan Pasal 27 ayat 2 menetapkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian.”
Pokok kedua, selanjutnya dalam pasal 28 ditetapkan bahwa ” keemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh UU. “
Pokok ketiga, dalam pasal 29 ayat 2 dirumuskan kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara, yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan un tuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.”
Pokok keempat, adalah pasal 31 yang mengatur hak asasi mengenai pengajaran yang berbunyi (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan (2) pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan UU.
Kesimpulan dari bab ini adalah Bahwa Sistem pelapisan sosial masih ada di beberapa daerah dan kita patut menghormatinya karena merupakan suatu sejarah yang lekat. Lalu dalam bermasyarakat kesamaan derajat adalah mutlak dengan catatan ialah dimata Tuhan yang maha esa manusia tidak dibedakan antara satu dengan yang lainnya.

KESAMAAN DERAJAT WARGA NEGARA

               Kesamaan derajat itu merupakan sesuatu yang bisa dikatakan atau sesuatu yang selalu berhubungan dengan status. Kesamaan derajat terkadang dapat membuat seseorang merasa menjadi lebih berwibawa, dan biasanya orang yang mempunyai sifat seperti itu rasanya dia ingin selalu disegankan di sekitar atau di lingkungan tempat tinggalnya. Sifat yang seperti ini sangat tidak baik. Dalam hidup bertetangga kita jangan sampai mempunya sifat yang seperti itu, karna itu akan membuat hubungan antar tetengga menjadi tidak harmonis dan itu rasanya sangat tidak enak dan nyaman. Dalam hidup bertetangga kita harus selalu tanamkan prinsip bahwa apa yang kita inginkan harus sesuai dengan apa yang kita rasakan.

               Kesamaan derajat adalah suatu sifat yang menghubungankan antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik, maksudnya orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah dan Negara. Hak dan kewajiban sangat penting ditetapkan dalam perundang-undangan atau Konstitusi. Undang-undang itu berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dalam arti semua orang memiliki kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini terwujud dalam jaminan hak yang diberikan dalam berbagai faktor kehidupan.

               Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya Universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
               Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia. Pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 29(2) menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

               Dalam UUD 1945 adanya persamaan derajat dan hak juga tercantum dalam pasal – pasalnya secara jelas. Kalau kita lihat ada 4 pasal yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi itu yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. 

Empat pokok hak-hak asasi dalam empat pasal UUD 1945 adalah sebagi berikut :
Pokok pertama:
·         Pasal 27 ayat 1 menyatakan (segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya)
·         Pasal 27 ayat 2 menyatakan (hak setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan)
Pokok kedua:
·         Pasal 28 (kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang)
Pokok ketiga:
·         Pasal 29 ayat 2 (Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu)
Pokok keempat:
·         Pasal 31 (Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang).

Persamaan Derajat di Dunia

               Hak, Persamaan Hak dicantumkan dalam peryataan sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia atau University Declaration Of Human Right (1948), dalam pasal - pasalnya:
·         Pasal 1 (Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknyabergaul satu sama lain dalam persaudaraan)
·         Pasal 2 ayat 1 (Setiap orang berhak atas semua hak – hak dan kebebasan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apa pun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran, ataupun kedudukan)
·         Pasal 7 (Sekalian orang adalah sama terhadap undang – undang dan berhak atas perlindungan hokum yang sama dengan tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditunjukan kepada perbedaan semacam ini).
Elite dan organisasi massa yang ada di Indonesia

Dalam masyarakat umum dikenal adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah petani petani kaya dan pegawai.

Adapun lapisan atas terdiri atas keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dengan gelar yang berbeda sesuai tingkat hubungan mereka dengan raja. Boleh dikatakan sifatnya yang turun-temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu mereka sebagai elite biasa disebut elite tradisional atau daerah yang di sebut elite adalah suatu kelompok yang berpengaruh dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat.

Di samping elite tradisional yang berdasarkan keturunan itu muncul juga elite temporer atau disebut juga elite agama. Disini kedudukan mereka di lapisan atas sukar untuk diturunkan pada anak cucu. Hal ini kita jumpai pada pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama dan kyai yang sangat berpengaruhi tidak hanya di daerahnya tapi jauh melampaui batas batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan terkadang pengaruh dan peranan mereka melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. Perlawanan-perlawanan daerah terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik ditujukan terhadap kolonisasi dan kapitalis asing terhadap elite tradisional.dipimpin oleh elite agama.

Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik berupa pesantren maupun surau. Oleh karena nasionalisme Indonesia baru tumbuh sejak kebangkitan nasional tahun 1908, maka elite yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia masih bersifat kedaerahan, mereka hanya terpandang dan di hormati terbatas dalam lingkungan daerah masing-masing. Kekuasaan pemerintah kolonial belanda yang telah mengusai daerah-daerah di Indonesia ternyata tidak mengubah kedudukan golongan elit tersebut, meskipun di atas mereka sendiri ada lagi elite yang lebih tinggi yaitu elite kulit putih.
Hal ini memang di sengaja oleh pemerintah kolonial sebab makin utuh masyarakat tradisional semakin baik. Karena dengan begitu mobilisasi penduduk untuk keperluan eksploitasi ekonomi akan lebih baik dan ikatan budaya dan politik antara Hindia Belanda dan negeri induk akan lebih terjamin. Di samping itu luasnya daerah Indonesia dengan berbagai macam ragam adat dan kebiasaan untuk mengaturnya dengan baik dan lancar tentu menghendaki suatu administrasi kolonial yang besar dan mahal.
Untuk menghemat biaya, tenaga bangsa Indonesia dipergunakan untuk membantu kelancaran administrasi pemerintah koloni dan untuk itu kekuasaan mereka tetap di pertahankan. Dengan demikian pemerintah Belanda memelihara penguasa tradisional dalam menghadapi rakyatnya sendiri, akan tetapi hal itu juga akan memperlemah mereka dalam berhadapan dengan pemerintah Belanda.
Keadaan tersebut diatas mulai berubah setelah hasil dari politik etis yang dijalankan di Indonesia kelihatan pada akhir abad ke 19. Perluasan pengajaran, baik dalam bidang ilmu, tingkatannya maupun penyebaran sekolahanya, makin menarik perhatian rakyat. Sekolah kemudian di anggap sebagai alat untuk dapat memasuki lingkungan hidup baru ”hidup kepriyayian” bagi golongan bawah dan untuk menambah dasar legitimasi bagi golongan atas.


Di beberapa daerah seperti Sumatra barat dan Jawa pentingnya penguasaan ilmu sebagai hasil pendidikan sekolah dikaitkan dengan dapat tidaknya seorang itu menjadi pegawai. Sultan Hamengkubuwono VIII umpamanya pada akhir abad ke 19, mengharuskan adanya ijasah bagi seorang anak yang akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pejabat pemerintah. Di samping itu pengaruh penetrasi ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat Indonesia makin kelihatan baik karena pembukaan perkebunan-perkebunan besar, pembangunan pabrik-pabrik maupun kedudukan uang sebagai alat penukar yang makin penting.
Kedua hal tersebut telah memungkinkan terjadinya pergeseran dan perubahan status sosial seseorang. Dengan demikian kita lalu mengenal bermacam-macam elit Indonesia baru, seperti elite politik elite budaya, elite agama, dan sebagainya yang karena kesemuanya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan nasional, di sebut elit nasional.
Seiring dengan pertumbuhan masyarakat disegala bidang maka kota kota besar yang menjadi pusat pengajaran dan pendidikan perdagangan dan industri lebih menarik perhatian generasi muda dari pada kota kota yang hanya merupakan tempat pemerintahan saja. Karena pusat-pusat tersebut terbatas hanya pada beberapa kota saja, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Maka ia merupakan tempat bertemunya pelajar-pelajar dan pemuda-pemuda dari berbagai daerah yang berbeda adat istiadat dan kedudukan sosial mereka. Ilmu yang sama-sama mereka terima pada bangku sekolah memberikan kepada mereka suatu pola pikir yang sama mengenai sesuatu.
Dengan demikian sekolah juga berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara mereka, sehingga memudahkan pendekatan sesama mereka/ Contoh mengenai ini dapat dilihat pada masa awal kebangkitan nasional dan para partai partai politik. Diperkenalkan berbagai macam ilmu di sekolah dan masuknya paham-paham baru, memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek dalam masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesimpulan bersama yang diperoleh menunjukkan adanya kesamaan nasib yang buruk dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk memperbaikinya.
Bersamaan dengan timbulnya elite nasional karena pengaruh politik etis, kebangkitan Islam juga mendorong pertumbuhan elite nasional. Pembaharuan dalam pengajaran islam seperti yang dilaksanakan oleh muhammadiyah, serikat Islam dan lain lain, mungkin seorang ulama atau kyai suatu daerah juga menjadi tokoh nasional di bidang politik, sosial dan sebagainya. Pelajar pelajar STOVIA dan kemudian anggota Budi Utomo mengambil kesimpulan bahwa tanpa perluasan pengajaran, kemajuan bangsa Indonesia akan lambat sekali.
Sarekat Islam berpendapat tanpa meningkatkan persatuaan dan kerja sama antara semua pedagang pribumi, maka kekuasaan kapitalis asing Cina dan barat akan sulit di atasi. Pemikir dari elite nasional seperti Moh. Hatta, menyatakan pokok pikirannya sebagai berikut:
"Bahwa ekonomi bangs Indonesia harus dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri dengan asas gotong royong melalui sarana koperasi".
Tjokroaminoto menyebut kapitalisme asing sebagai sondik kapitalisme (capital berdosa) Karen menyengsarakaan rakyat. Untuk itu rakyat harus dibangun dan dibimbing kearah persatuaan dan kerjasama yang kuat. Dalam anggaran dasar dan program kerja banyak partai-partai dan organisasi daerah, kelihatan tekad bahwa hanya dengan persatuaan dan kesatuaan semua cita-cita untuk meningkatkan martabat bangsa dapat dicapai.
Sesuatu yang menarik juga dalam timbulnya elite nasional ini ialah perjuangan golongan indo yang dalam masyarakat kolonial dianggap rendah dan kurang mendapat kesempatan. Beberapa orang tokohnya seperti Douwes Dekker melalui indische partij muncul sebagai anggota elite nasional Indonesia karena tujuan perjuangan adalah menciptakan suatu persatuaan nasional dari semua golongan yang ada di Indonesia dalam suatu Negara merdeka. Disamping itu, perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan di Indonesia juga telah membantu proses timbulnya elite tersebut.
Penderitaan yang dialami sebagai rakyat terjajah, telah menimbulkan pada rakyat mitos-mitos seperti ratu adil, ramalan joyo boyo, dan sebagainya. Kepada tokoh-tokoh seperti HOS Tjokoaminoto yang dianggap seperti ratu kemudian digantugkan harapan perbaikan nasib rakyat. Muncullah waktu itu tokoh-tokoh yang berpengaruh dikalangan rakyat, seperti HOS Tjokroaminoto, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Dr. Sutomo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, Haji Agus salim, Abdul Muis, K.H Ahmad Dahlan, dan Semaun, pada masa awal pergerakan nasional dan kemudian Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Sultan Syahrir, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sartono, Muhamaad Husni Thamrin, G.S.S.J. Ratu Langi dan banyak lainnya lagi pada waktu berikutya.
Jelas bahwa pengaruh system pendidikan barat adalah sangat menonjol dalam menumbuhkan elite nasional. Dengan ilmu mereka menghasilkan ide dan pemikiran sendiri untuk memajukan masyarakat. Begitupun keahlian seseorang dalam suatu ilmu telah mendesak keturunan sebagai ukuran bagi penentuan status seseorang. Dapat dikatakan bahwa pada masa pergerakan nasional secara keseluruhan status bangsawan atau elite tradisional merosot bahwa telah dilampaui oleh golongan intelektual atau elit nasional.
Elit nasional yang telah mempunyai dasar baru dalam memandang masyarakat sekitarnya, yaitu nasionalisme Indonesia, berusaha mengubah pandangan yang bertolak dari lingkungan daerah masing masing. Walaupun telah memiliki pola berpikir yang sama namun karena berasal dari tingkat social dan ekonomi serta daerah yang berbeda beda masih terdapat juga perbedaan di dalam cara mereka memandang lingkungannya. Halite jelas member warna kepada perumusan asas asas dan cita cita.


Namun mereka yakin bahwa cita cita kemerdekaan Indonesia hanya akan tercapai apabila nasionalisme telah tumbuh dengan subur sehingga merupakan kekuatan yang merata yang mengikat semua suku bangsa di Indonesia dalam ikatan persatuan nasional yang kokoh. Mereka pun sadar bahwa untuk mempercepat proses tercapainya hal tersebut perlu disusun organisasi rakyat dengan membentuk partai dan perserikatan massa yang mempunyai keanggotaan yang luas.
Selaras dengan modernisasi yang terjadi di Indonesia, meluasnya pengajaran dan perkembangan media komunikasi massa telah menguntungkan elite nasional dalam menyebarluaskan tata pikir nasionalisme kepada seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu makin luasnya penggunaan bahasa Indonesia (melayu) pada penduduk yang bukan berbahasa melayu, telah mempermudah usaha “national building”, sebab penjelasan mengenai ide nasional tidak hanya dapat dimengerti oleh golongan atas saja, melainkan juga oleh golongan bawah.
Namun dirasakan waktu itu bahwa komunikasi yang paling tepat adalah melalui pendidikan sekolah. Karena itu baik partai partai maupun organisasi massa bahkan perorangan, berlomba-lomba memberikan pendidikan dan pengajaran kepada rakyat. Sejak dari Budi Utomo, serekat Islam, indische partaij, muhamaddiyah, PKI, PNI, sampai pada ke partai-partai sesudah tahun 1930 seperti partindo, gerindra, parindra dan sebagainya, melaksanakan hal tersebut. R

Media pers, yang dipandang paling jauh jangkauannya, juga dipergunakan dan dalam puluhan surat kabar dan majalah yang terbit dalam lingkungan elite nasional, selalu diserukan agar rakyat Indonesia bangkit dan bersatu padu menghadapi kolonialisme, imperialisme, kapitalisme. Bahwa tidak akan mungkin mencapai kemerdekaan apabila persatuan dan kesatuan seluruh rakyat tidak tergalang.
Puncak dari peranan elite nasional dalam menumbuhkan nasionalisme tercapai dengan diikrarkannya sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 dalam kongres pemuda Indonesia di Jakarta. Satu nusa satu bangsa satu bahasa :Indonesia. Disini dengan tegas telah dicamkan ide nasionalisme Indonesia dalam hati sanubari rakyat di seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Harwantiyoko, Neltje F.Katuuk. MKDU Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. 1996
Masykur, Ahmad. Persamaan Derajat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar