Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
setiap manusia memiliki peranan sosial
yang berbeda – beda antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan
bermasyarakat sehari – hari. Dari peranan sosial yang berbeda – beda tersebut
timbul penggolongan tingkat social atau biasa disebut pelapisan social yang dapat
dilihat dari status social, jabatan, warna kulit, status ekonomi. Maka itu kita
perlu berfikir perlu tidaknya pelapisan social itu?
Contoh pelapisan social yang tidak perlu adalah dari perbedaan ras kulit hitam dan kulit putih dimana pada waktu itu ras kulit hitam dianggap golongan rendah karena mereka hanya sebagai budak yang diperjual belikan oleh ras kulit putih. Namun lambat laun ras kulit hitam menuntuk persamaan atas hak nya sebagai wagra Negara hingga terjadi demostrasi dan kerusuhan antara warga ras kulit hitam dengan warga ras kulit putih dan pemerintah.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa tidak perlunya pelapisan social berdasarkan rasa atau perbedaan kulit karena warna kulit adalah karunia dari tuhan untuk mahluknya.
Contoh lain ada nya pelapisan social berdasarkan keturunan yang masih dianut oleh beberapa masyarakat. Seperti rakyat biaya yang masih tunduk pada keturunan rajanya. Hal ini diartikan sebagai rasa kesetiaan rakyat kepada rajanya. Dari sni bisa kita liat perlu tidaknya pelapisan social. Sama halnya pada suatu perusahaan dimana ada atasan dan bawahan. Pelapiasan ini dibuat sengaja untuk mengejar tujuan bersama. Didalam pelapisan ini ditentukan secar jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Pelapisan ini dirasa sangta perlu untuk kelangsungan hidup suatu perusahaan.
Dalam kesamaan derajat masyarakat terlah di atur pada Pasal di Dalam UUD 45 Tentang Persamaan Hak. Persamaan derajat di indonesia Dalam UUD 1945, hak dan kebebasan yang berkaitan dengan adanya persamaan derajat dan hak juga tercantum dalam pasal secara jelas yakni pasal 27, 28, 29, dan 31. Empat pokok hak asasi dalam empat pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Pokok pertama, tentang persamaan kedudukan dan kewajiban kewarganegaraan didalam hukum dan dimuka pemerintahan Pasal 27 ayat 2 menetapkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian.”
Pokok kedua, selanjutnya dalam pasal 28 ditetapkan bahwa ” keemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh UU. “
Pokok ketiga, dalam pasal 29 ayat 2 dirumuskan kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara, yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan un tuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.”
Pokok keempat, adalah pasal 31 yang mengatur hak asasi mengenai pengajaran yang berbunyi (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan (2) pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan UU.
Kesimpulan dari bab ini adalah Bahwa Sistem pelapisan sosial masih ada di beberapa daerah dan kita patut menghormatinya karena merupakan suatu sejarah yang lekat. Lalu dalam bermasyarakat kesamaan derajat adalah mutlak dengan catatan ialah dimata Tuhan yang maha esa manusia tidak dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Contoh pelapisan social yang tidak perlu adalah dari perbedaan ras kulit hitam dan kulit putih dimana pada waktu itu ras kulit hitam dianggap golongan rendah karena mereka hanya sebagai budak yang diperjual belikan oleh ras kulit putih. Namun lambat laun ras kulit hitam menuntuk persamaan atas hak nya sebagai wagra Negara hingga terjadi demostrasi dan kerusuhan antara warga ras kulit hitam dengan warga ras kulit putih dan pemerintah.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa tidak perlunya pelapisan social berdasarkan rasa atau perbedaan kulit karena warna kulit adalah karunia dari tuhan untuk mahluknya.
Contoh lain ada nya pelapisan social berdasarkan keturunan yang masih dianut oleh beberapa masyarakat. Seperti rakyat biaya yang masih tunduk pada keturunan rajanya. Hal ini diartikan sebagai rasa kesetiaan rakyat kepada rajanya. Dari sni bisa kita liat perlu tidaknya pelapisan social. Sama halnya pada suatu perusahaan dimana ada atasan dan bawahan. Pelapiasan ini dibuat sengaja untuk mengejar tujuan bersama. Didalam pelapisan ini ditentukan secar jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Pelapisan ini dirasa sangta perlu untuk kelangsungan hidup suatu perusahaan.
Dalam kesamaan derajat masyarakat terlah di atur pada Pasal di Dalam UUD 45 Tentang Persamaan Hak. Persamaan derajat di indonesia Dalam UUD 1945, hak dan kebebasan yang berkaitan dengan adanya persamaan derajat dan hak juga tercantum dalam pasal secara jelas yakni pasal 27, 28, 29, dan 31. Empat pokok hak asasi dalam empat pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Pokok pertama, tentang persamaan kedudukan dan kewajiban kewarganegaraan didalam hukum dan dimuka pemerintahan Pasal 27 ayat 2 menetapkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian.”
Pokok kedua, selanjutnya dalam pasal 28 ditetapkan bahwa ” keemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh UU. “
Pokok ketiga, dalam pasal 29 ayat 2 dirumuskan kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara, yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan un tuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.”
Pokok keempat, adalah pasal 31 yang mengatur hak asasi mengenai pengajaran yang berbunyi (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan (2) pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan UU.
Kesimpulan dari bab ini adalah Bahwa Sistem pelapisan sosial masih ada di beberapa daerah dan kita patut menghormatinya karena merupakan suatu sejarah yang lekat. Lalu dalam bermasyarakat kesamaan derajat adalah mutlak dengan catatan ialah dimata Tuhan yang maha esa manusia tidak dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
KESAMAAN
DERAJAT WARGA NEGARA
Kesamaan derajat itu merupakan sesuatu yang bisa
dikatakan atau sesuatu yang selalu berhubungan dengan status. Kesamaan derajat
terkadang dapat membuat seseorang merasa menjadi lebih berwibawa, dan biasanya
orang yang mempunyai sifat seperti itu rasanya dia ingin selalu disegankan di
sekitar atau di lingkungan tempat tinggalnya. Sifat yang seperti ini sangat
tidak baik. Dalam hidup bertetangga kita jangan sampai mempunya sifat yang
seperti itu, karna itu akan membuat hubungan antar tetengga menjadi tidak
harmonis dan itu rasanya sangat tidak enak dan nyaman. Dalam hidup bertetangga
kita harus selalu tanamkan prinsip bahwa apa yang kita inginkan harus sesuai
dengan apa yang kita rasakan.
Kesamaan derajat adalah suatu sifat yang menghubungankan
antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik, maksudnya
orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban, baik terhadap
masyarakat maupun terhadap pemerintah dan Negara. Hak dan kewajiban sangat
penting ditetapkan dalam perundang-undangan atau Konstitusi. Undang-undang itu
berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dalam arti semua orang memiliki
kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini terwujud dalam jaminan hak yang
diberikan dalam berbagai faktor kehidupan.
Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan
oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan
adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya Universal Declaration of Human
Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang
dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki
tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat
asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of
human right juga telah mencantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi
manusia. Pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 29(2)
menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu.
Dalam UUD 1945 adanya persamaan derajat dan hak juga
tercantum dalam pasal – pasalnya secara jelas. Kalau kita lihat ada 4 pasal
yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi itu yakni pasal 27, 28,
29 dan 31.
Empat pokok hak-hak asasi dalam empat
pasal UUD 1945 adalah sebagi berikut :
Pokok pertama:
·
Pasal 27 ayat 1 menyatakan (segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya)
·
Pasal 27 ayat 2 menyatakan (hak setiap
warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan)
Pokok kedua:
·
Pasal 28 (kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan oleh undang-undang)
Pokok ketiga:
·
Pasal 29 ayat 2 (Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu)
Pokok keempat:
·
Pasal 31 (Tiap-tiap warga Negara berhak
mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang).
Persamaan Derajat
di Dunia
Hak, Persamaan Hak dicantumkan dalam peryataan sedunia
tentang Hak – Hak Asasi Manusia atau University Declaration Of Human Right
(1948), dalam pasal - pasalnya:
·
Pasal 1 (Sekalian orang dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan
budi dan hendaknyabergaul satu sama lain dalam persaudaraan)
·
Pasal 2 ayat 1 (Setiap orang berhak
atas semua hak – hak dan kebebasan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan
ini dengan tak ada kecuali apa pun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, milik, kelahiran, ataupun kedudukan)
·
Pasal 7 (Sekalian orang adalah sama
terhadap undang – undang dan berhak atas perlindungan hokum yang sama dengan
tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap
setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan
yang ditunjukan kepada perbedaan semacam ini).
Elite
dan organisasi massa yang ada di Indonesia
Dalam masyarakat umum dikenal adanya beberapa
lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas.
Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan merupakan masa yang
terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai petani dan buruh
perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya.
Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah petani petani kaya
dan pegawai.
Adapun lapisan atas terdiri atas keturunan
bangsawan atau kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan umumnya mereka
terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dengan gelar yang berbeda sesuai tingkat
hubungan mereka dengan raja. Boleh dikatakan sifatnya yang turun-temurun itu
tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu mereka sebagai elite
biasa disebut elite tradisional atau daerah yang di sebut elite adalah suatu
kelompok yang berpengaruh dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat.
Di samping elite tradisional yang berdasarkan
keturunan itu muncul juga elite temporer atau disebut juga elite agama. Disini
kedudukan mereka di lapisan atas sukar untuk diturunkan pada anak cucu. Hal ini
kita jumpai pada pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama
dan kyai yang sangat berpengaruhi tidak hanya di daerahnya tapi jauh melampaui
batas batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan terkadang pengaruh dan peranan
mereka melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. Perlawanan-perlawanan
daerah terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik ditujukan terhadap
kolonisasi dan kapitalis asing terhadap elite tradisional.dipimpin oleh elite
agama.
Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga
pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik
berupa pesantren maupun surau. Oleh karena nasionalisme Indonesia baru tumbuh
sejak kebangkitan nasional tahun 1908, maka elite yang terdapat di dalam
masyarakat Indonesia masih bersifat kedaerahan, mereka hanya terpandang dan di
hormati terbatas dalam lingkungan daerah masing-masing. Kekuasaan pemerintah
kolonial belanda yang telah mengusai daerah-daerah di Indonesia ternyata tidak
mengubah kedudukan golongan elit tersebut, meskipun di atas mereka sendiri ada
lagi elite yang lebih tinggi yaitu elite kulit putih.
Hal ini memang di sengaja oleh pemerintah kolonial
sebab makin utuh masyarakat tradisional semakin baik. Karena dengan begitu
mobilisasi penduduk untuk keperluan eksploitasi ekonomi akan lebih baik dan
ikatan budaya dan politik antara Hindia Belanda dan negeri induk akan lebih
terjamin. Di samping itu luasnya daerah Indonesia dengan berbagai macam ragam
adat dan kebiasaan untuk mengaturnya dengan baik dan lancar tentu menghendaki
suatu administrasi kolonial yang besar dan mahal.
Untuk menghemat biaya, tenaga bangsa Indonesia
dipergunakan untuk membantu kelancaran administrasi pemerintah koloni dan untuk
itu kekuasaan mereka tetap di pertahankan. Dengan demikian pemerintah Belanda
memelihara penguasa tradisional dalam menghadapi rakyatnya sendiri, akan tetapi
hal itu juga akan memperlemah mereka dalam berhadapan dengan pemerintah
Belanda.
Keadaan tersebut diatas mulai berubah setelah hasil
dari politik etis yang dijalankan di Indonesia kelihatan pada akhir abad ke 19.
Perluasan pengajaran, baik dalam bidang ilmu, tingkatannya maupun penyebaran
sekolahanya, makin menarik perhatian rakyat. Sekolah kemudian di anggap sebagai
alat untuk dapat memasuki lingkungan hidup baru ”hidup kepriyayian” bagi
golongan bawah dan untuk menambah dasar legitimasi bagi golongan atas.
Di beberapa daerah seperti Sumatra barat dan Jawa
pentingnya penguasaan ilmu sebagai hasil pendidikan sekolah dikaitkan dengan
dapat tidaknya seorang itu menjadi pegawai. Sultan Hamengkubuwono VIII
umpamanya pada akhir abad ke 19, mengharuskan adanya ijasah bagi seorang anak
yang akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pejabat pemerintah. Di samping
itu pengaruh penetrasi ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat Indonesia makin
kelihatan baik karena pembukaan perkebunan-perkebunan besar, pembangunan
pabrik-pabrik maupun kedudukan uang sebagai alat penukar yang makin penting.
Kedua hal tersebut telah memungkinkan terjadinya
pergeseran dan perubahan status sosial seseorang. Dengan demikian kita lalu
mengenal bermacam-macam elit Indonesia baru, seperti elite politik elite
budaya, elite agama, dan sebagainya yang karena kesemuanya bertujuan untuk
memperjuangkan kepentingan nasional, di sebut elit nasional.
Seiring dengan pertumbuhan masyarakat disegala
bidang maka kota kota besar yang menjadi pusat pengajaran dan pendidikan
perdagangan dan industri lebih menarik perhatian generasi muda dari pada kota
kota yang hanya merupakan tempat pemerintahan saja. Karena pusat-pusat tersebut
terbatas hanya pada beberapa kota saja, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Maka ia merupakan tempat bertemunya pelajar-pelajar dan pemuda-pemuda dari
berbagai daerah yang berbeda adat istiadat dan kedudukan sosial mereka. Ilmu
yang sama-sama mereka terima pada bangku sekolah memberikan kepada mereka suatu
pola pikir yang sama mengenai sesuatu.
Dengan demikian sekolah juga berfungsi sebagai
jembatan komunikasi antara mereka, sehingga memudahkan pendekatan sesama
mereka/ Contoh mengenai ini dapat dilihat pada masa awal kebangkitan nasional
dan para partai partai politik. Diperkenalkan berbagai macam ilmu di sekolah
dan masuknya paham-paham baru, memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek
dalam masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Kesimpulan bersama yang diperoleh menunjukkan adanya kesamaan nasib yang
buruk dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk
memperbaikinya.
Bersamaan dengan timbulnya elite nasional karena
pengaruh politik etis, kebangkitan Islam juga mendorong pertumbuhan elite
nasional. Pembaharuan dalam pengajaran islam seperti yang dilaksanakan oleh
muhammadiyah, serikat Islam dan lain lain, mungkin seorang ulama atau kyai
suatu daerah juga menjadi tokoh nasional di bidang politik, sosial dan
sebagainya. Pelajar pelajar STOVIA dan kemudian anggota Budi Utomo mengambil
kesimpulan bahwa tanpa perluasan pengajaran, kemajuan bangsa Indonesia akan
lambat sekali.
Sarekat Islam berpendapat tanpa meningkatkan
persatuaan dan kerja sama antara semua pedagang pribumi, maka kekuasaan
kapitalis asing Cina dan barat akan sulit di atasi. Pemikir dari elite nasional
seperti Moh. Hatta, menyatakan pokok pikirannya sebagai berikut:
"Bahwa ekonomi bangs Indonesia harus dibangun
oleh bangsa Indonesia sendiri dengan asas gotong royong melalui sarana
koperasi".
Tjokroaminoto menyebut kapitalisme asing sebagai
sondik kapitalisme (capital berdosa) Karen menyengsarakaan rakyat. Untuk itu
rakyat harus dibangun dan dibimbing kearah persatuaan dan kerjasama yang kuat.
Dalam anggaran dasar dan program kerja banyak partai-partai dan organisasi
daerah, kelihatan tekad bahwa hanya dengan persatuaan dan kesatuaan semua
cita-cita untuk meningkatkan martabat bangsa dapat dicapai.
Sesuatu yang menarik juga dalam timbulnya elite
nasional ini ialah perjuangan golongan indo yang dalam masyarakat kolonial
dianggap rendah dan kurang mendapat kesempatan. Beberapa orang tokohnya seperti
Douwes Dekker melalui indische partij muncul sebagai anggota elite nasional
Indonesia karena tujuan perjuangan adalah menciptakan suatu persatuaan nasional
dari semua golongan yang ada di Indonesia dalam suatu Negara merdeka. Disamping
itu, perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan di Indonesia juga telah membantu
proses timbulnya elite tersebut.
Penderitaan yang dialami sebagai rakyat terjajah,
telah menimbulkan pada rakyat mitos-mitos seperti ratu adil, ramalan joyo boyo,
dan sebagainya. Kepada tokoh-tokoh seperti HOS Tjokoaminoto yang dianggap
seperti ratu kemudian digantugkan harapan perbaikan nasib rakyat. Muncullah
waktu itu tokoh-tokoh yang berpengaruh dikalangan rakyat, seperti HOS
Tjokroaminoto, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Dr. Sutomo, Douwes Dekker, Ki Hajar
Dewantara, Haji Agus salim, Abdul Muis, K.H Ahmad Dahlan, dan Semaun, pada masa
awal pergerakan nasional dan kemudian Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Sultan
Syahrir, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sartono, Muhamaad Husni Thamrin, G.S.S.J. Ratu
Langi dan banyak lainnya lagi pada waktu berikutya.
Jelas bahwa pengaruh system pendidikan barat adalah
sangat menonjol dalam menumbuhkan elite nasional. Dengan ilmu mereka
menghasilkan ide dan pemikiran sendiri untuk memajukan masyarakat. Begitupun
keahlian seseorang dalam suatu ilmu telah mendesak keturunan sebagai ukuran
bagi penentuan status seseorang. Dapat dikatakan bahwa pada masa pergerakan
nasional secara keseluruhan status bangsawan atau elite tradisional merosot
bahwa telah dilampaui oleh golongan intelektual atau elit nasional.
Elit nasional yang telah mempunyai dasar baru dalam
memandang masyarakat sekitarnya, yaitu nasionalisme Indonesia, berusaha
mengubah pandangan yang bertolak dari lingkungan daerah masing masing. Walaupun
telah memiliki pola berpikir yang sama namun karena berasal dari tingkat social
dan ekonomi serta daerah yang berbeda beda masih terdapat juga perbedaan di
dalam cara mereka memandang lingkungannya. Halite jelas member warna kepada
perumusan asas asas dan cita cita.
Namun mereka yakin bahwa cita cita kemerdekaan
Indonesia hanya akan tercapai apabila nasionalisme telah tumbuh dengan subur
sehingga merupakan kekuatan yang merata yang mengikat semua suku bangsa di
Indonesia dalam ikatan persatuan nasional yang kokoh. Mereka pun sadar bahwa
untuk mempercepat proses tercapainya hal tersebut perlu disusun organisasi
rakyat dengan membentuk partai dan perserikatan massa yang mempunyai keanggotaan
yang luas.
Selaras dengan modernisasi yang terjadi di
Indonesia, meluasnya pengajaran dan perkembangan media komunikasi massa telah
menguntungkan elite nasional dalam menyebarluaskan tata pikir nasionalisme
kepada seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu makin luasnya penggunaan bahasa
Indonesia (melayu) pada penduduk yang bukan berbahasa melayu, telah mempermudah
usaha “national building”, sebab penjelasan mengenai ide nasional tidak hanya
dapat dimengerti oleh golongan atas saja, melainkan juga oleh golongan bawah.
Namun dirasakan waktu itu bahwa komunikasi yang
paling tepat adalah melalui pendidikan sekolah. Karena itu baik partai partai
maupun organisasi massa bahkan perorangan, berlomba-lomba memberikan pendidikan
dan pengajaran kepada rakyat. Sejak dari Budi Utomo, serekat Islam, indische
partaij, muhamaddiyah, PKI, PNI, sampai pada ke partai-partai sesudah tahun
1930 seperti partindo, gerindra, parindra dan sebagainya, melaksanakan hal
tersebut. R
Media pers, yang dipandang paling jauh
jangkauannya, juga dipergunakan dan dalam puluhan surat kabar dan majalah yang
terbit dalam lingkungan elite nasional, selalu diserukan agar rakyat Indonesia
bangkit dan bersatu padu menghadapi kolonialisme, imperialisme, kapitalisme.
Bahwa tidak akan mungkin mencapai kemerdekaan apabila persatuan dan kesatuan seluruh
rakyat tidak tergalang.
Puncak dari peranan elite nasional dalam
menumbuhkan nasionalisme tercapai dengan diikrarkannya sumpah pemuda pada
tanggal 28 oktober 1928 dalam kongres pemuda Indonesia di Jakarta. Satu nusa
satu bangsa satu bahasa :Indonesia. Disini dengan tegas telah dicamkan ide
nasionalisme Indonesia dalam hati sanubari rakyat di seluruh tanah air dari
Sabang sampai Merauke.
Harwantiyoko, Neltje F.Katuuk. MKDU
Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. 1996
Masykur, Ahmad. Persamaan
Derajat.