Rabu, 25 Juni 2014

Manusia Kegelisahan dan Harapan (IBD)

Ketika ada seseorang yang dengan sengaja mengkhianati kita di masa lalu.

Ketika dia datang kembali untuk meminta maaf.

Maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak memaafkannya.



Berhentilah memikirkan orang-orang yang telah mengecewakan kita.

Berhentilah berharap kepada orang-orang yang telah dengan sengaja menyakiti kita.

Karena itu hanya akan membuat banyak waktu kita terbuang percuma.

Tak perlu bersusah payah untuk membalas dendam, cukup maafkan setiap kesalahan karena memaafkan adalah pembalasan yang terbaik.

Yakinlah......
Allah pasti punya alasan kenapa dia tidak berada bersama kita di masa sekarang.
Allah pasti punya rencana kenapa dia tidak berada bersama kita di masa depan.

Akan ada waktunya kapan Allah akan memberi pengganti untuk kita.
Seseorang yang lebih baik dibandingkan dia yang telah hilang dari genggaman kita.


Jika ada kegelisahan dalam hati, kesumpekan dalam jiwa, kekalutan dalam pikiran, dan kebuntuan dalam urusan, aduhai kemanakah akan ku adukan segala permasalahanku itu? Bila ku datang kepada manusia, toh mereka juga sama sepertiku. Punya banyak kegelisahan, bahkan lebih parah dariku. Alhamdulillah, aku masih punya Allah, tempatku mengadu dan Dialah yang pasti menolongku, aku yakin itu..


" Ya Allah, kami mengakui diri kami adalah lemah tak berdaya. Maka berilah kekuatan agar kami sanggup berdiri. Ya Allah, lindungilah diri kami dari musibah yang meruntuhkan agama kami. " Ya Allah, bantulah kami dalam berdoa, bersyukur, dan memperbagus ibadah kami. Ya Allah, Engkaulah Maha Pengampun, suka mengampuni, maka ampunilah segala dosa-dosa kami, ibu dan bapak kami.."

Minggu, 09 Maret 2014

Ilmu Budaya Dasar (Tugas 1)

ILMU BUDAYA DASAR 
Secara sederhana Pengertian ilmu budaya dasar adalah pengetahuan ang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk megkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan.
Istilah Ilmu Budaya Dasar dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti istilah Basic Humanitiesm yang berasal dari bahasa Inggris “The Humanities”. Adapun istilah Humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humanus yang bisa diartikan manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. agar supaya manusia bisa menjadi humanus, mereka hars memepeljari ilmu yaitu the humanities disamping tidak meniggalkan tanggun jawab yang lain sebagai manusia itu sendiri.
Untuk mengetahui bahwa Ilmu Budaya Dasar termasuk kelompok pengetahuan budaya, lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan dikelompokkan dalam 3 kelompok besar, yaitu:
1.Ilmu-ilmu Alamiah ( natural scince )
Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. untuk mengkaji hal itu digunakan metode ilmiah. caranya ialah dengan menentukan hukum yang berlaku mengenai keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan satu kualitas. hasil analisis itu kemudian digenerasikan. atas dasar ini lalu dibuat prediksi. hasil penelitiannya 100% benar dan 100% salah. Yang termasuk kelompok ilmu-ilmu alamiah antar lain astronomi, fisika, kimia, biologi, kedokteran, mekanika.
2. Ilmu-ilmu sosial (social science)
Ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam hubungan antar manusia. Yang termasuk kelompok ilmu-ilmu sosial antara lain ekonomi, sosiologi, politik, demografi, psikologi, antropologi sosial, sosiologi hukum, dsb.
3. Pengetahuan budaya (the humanities)
Pengetahuan budaya  bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Pengethuan budaya (the humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencangkup keahlian (disiplin) seni dan filsafat. Keahlian inipun dapat dibagi-bagi kedalam berbagai bidang keahlian, seperti seni tari, seni rupa, seni musik, dll.


Tujuan Ilmu Budaya Dasar
Tujuan dasar dari IBD ini tidak lain adalah untuk memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji berbagai persoalan budaya serta persoalan yang dihadapi manusia. Selain itu IBD tidak bermaksud menggambarkan disiplin ilmu yang merujuk hanya satu bidang saja, melainkan mengambarkan berbagai disiplin ilmu termasuk di dalamnya pengetahuan budaya (the humanities). Di samping itu, IBD turut serta dalam pengembangan kerpibadian bagi kita yang mempelajarinya. Dengan mempelajarinya kita memperoleh banyak wawasan dan pemikiran. Sehingga dengan begitu kita bisa menjadi lebih kritis terhadap nilai-nilai budaya, baik yang menyangkut diri kita, orang lain mapun alam sekitar kita.
Namun demikian, untuk memenuhi tujuan ideal tersebut, IBD dengan sendirinya memberikan harapan kepada kita seperti berikut :
Mengusahakan penajaman dan kepekaat pola pikir kita terhadap lingkungan budaya, sehingga kita lebih mudah    menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, terutama untuk kepentingan setiap individu.

Memberikan kesempatan bagi kita semua untuk memperluas wacana tentang berbagai masalah yang dihadapi manusia maupun berbagai persoalan budaya.

Mengkader kita untuk menjadi individu yang toleran dan tidak terjerumus dalam sifat kedaerahan, fanatisme agama, maupun ras atau golongan. Hal ini karena ruang lingkup pendidikan yang kita rasakan saat ini cenderung membuat setiap manusia berpandangan sempit, mementingkan golongan dan lain sebagainya.


Hubungan Manusia dan Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. 
Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini.  Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku.Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan  manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya Manusia.


 HAKIKAT MANUSIA
  
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
  1. Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
  2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
  3. yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
  4. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
  5. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
  6. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
  7. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
  8. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.


UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN 
7 unsur kebudayaan Universal




Unsur kebudayaan universal dapat diartikan sebagai pemahaman yanglebih jelas mengenai kebudayaan secara keseluruhan. Karena pembahasantentang kebudayaan sangat kompleks dan luas. Sehingga terdapat 7 unsurkebudayaan untuk lebih memudahkan kita memahami kebudayaan. Koentjaraningar menerangkan bahwa terdapat unsur-unsur kebudayaanuniversal seperti berikut:

1. Sistem Upacara Keagamaan, Setiap kebudayaan terdapat kepercayaan yang dianut. Kepercayaan yang dianutdi Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Darikelima agama tersebut terdapat upacara keagamaan yang berbeda-beda. Akantetapi untuk masyarakat yang tinggal dikota upacara keagamaan sepertinyasudah tidak dilaksanakan lagi kecuali dalam hal-hal tertentu saja. Sedangkanmasyarakat yang tinggal didesa masih banyak yang melaksanakan upacarakeagamaan tersebut.


2. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan, Kebudayaan di Indonesia beragam sangat banyak. Terdapat masyarakat Jawa,Sunda, Batak, Bugis dsb. Dari macam-macam kebudayaan tersebut, perluditanamkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu membiasakan bergaul dengankebudayaan yang lain. Dan saling berinteraksi dengan rukun. Di Indonesiabanyak terdapat kebudayaan yang harus di lestarikan bersama. Jangan kitasaling bersaing untuk kepentingan pribadi dengan kebudayaan lain, karena itusama saja kita memecahbelahkan kebudayaan yang sudah ditanam oleh leluhursebelumnya.


3. Bahasa, Kebudayaan yang beragam sangat berpengaruh pada bahasa yang dipakainya.Contohnya bahasa Inggris, Jerman, Italia, Sunda, Jawa, dsb. Dari banyak bahasatersebut kita dapat mempelajarinya untuk pengetahuan yang lebih luas. Tidakhanya bahasa yang dipelajari berasal dari bahas luar negri saja, tetapi bahasadari negri Indonesiapun perlu kita pelajari untuk melestarikan kebudayaan yangada di Indonesia.


4. Sistem Pengetahuan, Ada banyak sistem pengetahuan misalnya pertanian, perbintangan,perdagangan/bisnis, hukum dan perundang-undangan, pemerintahaan/politikdsb. Hal tersebut juga bagian dari kebudayaan. Kita wajib mempelajarinyakarena dengan adanya sistem pengetahuan kita menjadi tahu dunia luar dansangat bermanfaat untuk kehidupan karena berpengaruh pada pekerjaanseseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak perlu semua kita pelajaricukup beberapa saja kita kuasai, maka akan banyak informasi yang kita dapat.


5. Kesenian, Salah satu ciri khas dari kebudayaan adalah kesenian. Banyak hal yang bisa kitapelajari mengenai kesenian. Misalnya seni sastra, lukis, musik, tari, drama, kriadan lain sebagainya. Hal tersebut bagian dari khas yang dimiliki setiap daerahmaupun setiap negara. Misalnya untuk kesenian musik. Kita bisa mengetahuidan mencari musik yang khas dari setiap daerah maupun negara. Contohnyalagu-lagu daerah ampar-ampar pisang yang berasal dari Kalimantan Selatanyang menjadi ciri khas dari daerah tersebut.

6. Sistem Mata Pencaharian Hidup, Mata pencaharian sangat diperlukan untuk setiap masyarakat karenabermanfaat untuk memenuhi kehidupan manusia. Misalnya kaumpegawai/karyawan, kaum, petani, nelayan, pedangan. buruh dan seterusnya. Haltersebut merupakan mata pencaharian yang harus kita tekuni. Contohnyamasyarakat yang hidup dipesisir pantai lebih banyak bermata pencahariansebagai nelayan atau masyarakat yang hidup di perkotaan lebih banyak bermatapencaharian sebagai pegawai kantoran.

7. Sistem Teknologi dan Peralatan, Teknologi semakin lama semakin luas. Karena makin banyaknya masyarakatyang hidup modern. Teknologi sangat diperlukan akan tetapi tidak untukmelakukan perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku sekarang.



IBD, yang semula dinamakan Basic Humanities, berasal dari bahasa Inggris the humanities. Istilah ini berasal dari bahasa latin Humanus, yang berarti manusiawi, berbudaya, dan halus. Dengan mempelajari the humanities orang akan menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Jadi the humanities berkaitan dengan masalah nilai, yaitu nilai kita sebagai homo humanus. 
Untuk menjadi homo humanus, manusia harus mempelajari ilmu, yaitu the humanities, disamping tanggung jawabnya yang lain. Apa yang dimasukkan kedalam the humanities masih dapat diperdebatkan, dan kadang-kadang disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Pada umunmya the humanities mencakup filsafat, teologi, seni dan cabang-cabangnya tennasuk sastra, sejarah, cerita rakyat, clan. sebaginya. Pada pokoknya semua mempelajari masalah manusia dan budaya. Karena itu ada yang menterjemahkan the humanities menjadi ilmu-ilmu kemanusiaan, ada juga yang menterjemahkan menjadi pengetahuan budaya.
Karena seni adalah ekspresi yang sifatnya tidak normatif, seni lebih mudah berkomunikasi. Karena tidak normatif, nilai-nilai yang disampaikannya lebih fleksibel, baik isinya maupun cara penyampaiannya.
Hampir disetiap jaman, sastra mempunyai peranan yang lebih penting. Alasan pertama, karena sastra mempergunakan bahasa. Sementara itu, bahasa mempunyai kemampuan untuk menampung hampir semua pemyataan kegiatan manusia. Dalam usahanya untuk memahami dirinya sendiri, yang kemudian melahirkan filsafat, manusia mempergunakan bahasa. Dalam usahanya untuk memahami alam semesta, yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan, manusia mempergunakan bahasa. Dalam usahanya untuk mengatur hubungan antara sesamanya yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu sosial, manusia mempergunakan bahasa. Dengan demikian, manusia dan bahasa pada haketnya adalah satu. Kenyataan inilah mempermudah sastra untuk berkomunikasi.
Sastra juga lebih mudah berkomunikasi, karena pada hakekatnya karya sastra adalah penjabaran abstraksi. Sementara itu filsafat, yang juga mempergunakan bahasa, adalah abstraksi. Cinta kasih, kebahagian, kebebasan, dan lainnya yang digarap oleh filsafat adalah abstrak. Sifat abstrak inilah yang menyebabkan filsafat kurang berkomunikasi.

Karena seni memegang peranan penting, maka seniman sebagai pencipta karya seni juga penting, meskipun yang lebih penting adalah karyanya. Seniman adalah media penyampai nilai-nilai kemanusiaan. Kepekaannya menyebabkan dia mampu menangkap hal yang lepas dart pengamatan orang lain.
IBD adalah salah satu mata kuliah yang diberikan dalam satu semester, sebagai bagian dart MKDU. IBD tidak dimaksudkan untuk mendidik ahti-ahli dalam salah satu bidang keahlian yang tennasuk didalam pengetahuan budaya ( The Humanities ), Akan tetapi IBD semata-mata sebagai salah satu usaha mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nilai budaya. Pada waktu menggunakan karya sastra, misalnya. Mahasiswa tidak perlu mengetahui sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, dan sebaginya. Memang seperti cabang-cabang the humanities lainnya, dalam Ilmu Budaya Dasar sastra tidak diajatkan sebagai salah satu disiplin ilmu. Sastra disini digunakan sebagai alat untuk membahas masalah-masalah kemanusiaan yang dapat membantu mahasiswa untuk menjadi lebih humanus. Demikian juga filsafat, musik, seni rupa, dan sebagainya.
Orientasi the Humanities adalah ilmu : dengan mempelajari satu atau sebagian dart disiplin ilmu yang tercakup dalam the humanities, mahasiswa diharapkan dapat menjadi homo humanus yang lebih baik.



Sumber: 
http://andrazain.wordpress.com/2013/04/26/manusia-kebudayaan/
wahyuprakosa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/26643/bab3-konsepsi_ilmu_budaya_dasar_dalam_kesustraan.pdf Konsep Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraan
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_12.html
http://ulfanurizqiindaha.blogspot.com/2011/10/manusia-dan-kebudayaan.html
http://id.shvoong.com/society-and-news/culture/2213479-tujuan-ilmu-budaya-dasar/#ixzz2vSyC0NIl

Sabtu, 15 Februari 2014

(Maret) Prasangka , Diskriminasi dan Etnosentrisme


Prasangka , Diskriminasi dan Etnosentrisme

DEFINISI PRASANGKA 


Menurut Erich Fromm, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain. Sedangkan masyarakat yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidaksalingpercayaan anggota-anggotanya (dalam Schultz, 1991). Senada dengan Fromm, J.E. Prawitasari dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada fakultas Psikologi UGM tahun 2003, menyampaikan bahwa kriteria masyarakat yang sehat secara sosiopsikologis diantaranya adalah bila masyarakat mampu bercinta, yaitu mampu menggunakan cinta kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama manusia. Kriteria sehat lainnya adalah bila masyarakat mampu bekerja, mampu belajar dan mampu bemain. Mendasarkan pada kriteria ini, tampak jelas bahwa adanya prasangka yang luas di masyarakat merupakan indikasi jelas ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan, dan permusuhan. Prasangka juga menghalangi anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan cinta satu sama lain di antara anggota-anggota masyarakat dan untuk menyebarkan perdamaian.

Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.

Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron & Byrne, 1991). Misalnya karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Islam yang berjanggut lebat, maka seluruh orang Islam, terutama yang berjanggut lebat, dicurigai memiliki itikad buruk untuk menteror. Sementara itu, Daft (1999) memberikan definisi prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Soekanto (1993) dalam ‘Kamus Sosiologi’ menyebutkan pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu. Prasangka ini ada pada kelas masyarakat tertentu dan dialamatkan pada kelas masyarakat lain yang ada didalam masyarakat. Sudah jamak kelas atas berprasangka terhadap kelas bawah, dan sebaliknya kelas bawah berprasangka terhadap kelas atas. Sebagai contoh, jika kelas atas mau bergaul dengan kelas bawah maka biasanya kelas atas oleh kelas bawah dicurigai akan memanfaatkan mereka. Bila kelas bawah bergaul dengan kelas atas dikira oleh kelas atas akan mencuri dan sebagainya.

Sebagai sebuah sikap, prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (Behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Sedangkan pengetahuan mengenai objek prasangka biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. Misalnya bila latar belakang kelompoknya adalah etnik A, maka seseorang yang berprasangka terhadapnya mesti memiliki pengetahuan yang diyakini benar mengenai etnik A, terlepas pengetahuan itu benar atau tidak.

Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antar individu yang baik (Myers, 1999). Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi adalah ketegangan terus menerus. Padahal sebuah hubungan antar pribadi yang baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan dengan adanya prasangka tidak mungkin timbul kepercayaan. Sehingga adalah muskil suatu hubungan interpersonal yang baik bisa terbangun. Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antar individu yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun masyarakat yang damai.

Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears, Freedman & Peplau (1999) menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain. Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka. Dan, diskriminasi adalah komponen perilaku.

Stereotip

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.

Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.


Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara,:

1.     Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
2.     Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
3.     Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
4.     Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu:

·         Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
·         Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
·         Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
Jarak Sosial

Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan berikut :
1) Keinginan untuk saling berbagi,
2) Keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan,
3) Keinginan untuk bekerja bersama,
4) Keinginan yang berhubungan dengan pernikahan.

Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada diantara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan.

Sampai saat ini masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila anak-anaknya menikah dengan orang yang berbeda etniknya. Masih mudah pula ditemui orangtua yang membatasi pilihan anak-anaknya hanya boleh menikah dengan etnis sendiri atau beberapa etnis tertentu saja, sementara beberapa etnis yang lain dilarang. Kenyataan seperti itu merupakan cerminan dari adanya prasangka antar etnik. Saya pernah mendengar secara langsung ada petuah orang tua pada anaknya laki-laki, yang kebetulan etnis jawa, untuk tidak mencari jodoh etnis Dayak, etnis Minang, dan etnis Sunda. Diluar ketiga etnis itu dipersilahkan, tetapi lebih disukai apabila sesama etnis jawa.

 
PENGERTIAN DISKRIMINASI



Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Lalu ada organisasi yang hanya mau menerima anggota dari etnik tertentu saja meskipun jelas-jelas organisasi itu sebagai organisasi publik yang terbuka untuk umum. Contoh paling terkenal dan ekstrim dalam kasus diskriminasi etnik dan ras terjadi di Afrika Selatan pada tahun 80-an.                                                                   Politik aphartheid yang 
Dijalankan pemerintah Afrika Selatan membatasi akses kulit hitam dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Diskriminisi ras itu dikukuhkan secara legal melalui berbagai peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kulit hitam. Misalnya anak-anak kulit hitam tidak boleh bersekolah di sekolah untuk kulit putih, kulit hitam tidak boleh berada di tempat-tempat tertentu seperti hotel, restoran dan tempat publik lainnya. Kulit hitam juga tidak boleh naik kendaraaan umum untuk kulit putih, dan bahkan tidak boleh memasuki wilayah pemukiman kulit putih.

Liliweri (1994) menemukan bahwa diskriminasi antar etnik terjadi di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja. Di sana, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, sedangkan di Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Akan sulit orang Flores masuk menjadi pegawai di Universitas Cendana, demikian juga sebaliknya.


Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut. 
 
Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya. 
Pengertian yang luas tersebut memperlihatkan bahwa spektrum diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara langsung maupun tidak langsung. Diksriminasi tersebut dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi. Atau dapat pula berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran agama, serta struktur sosial dan ekonomi yang membenarkan terjadinya diskriminasi.
Dalam rangka menegakkan norma HAM di Indonesia, Pemerintah telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 serta Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965) melalui UU Nomor 29 Tahun 1999.
Berdasarkan konvensi-konvensi tersebut Pemerintah harus mengambil beberapa langkah dan tindakan yang mendukung tegaknya norma HAM tersebut. Pemerintah wajib melaksanakan kebijakan anti diskriminasi, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya, dengan melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan menjamin setiap orang tanpa membedakan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, atau keyakinan politik, dan kesederajatan di muka hukum, terutama kesempatan untuk menggunakan hak-haknya. Pihak Pemerintah pun wajib menjadikan segala bentuk penghasutan, kekerasan, provokasi, pengorganisasian, dan penyebarluasan yang didasarkan pada diskriminasi sebagai tindak pidana. Kemudian pihak Pemerintah pun harus menjamin adanya perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yurisdiksinya atas segala tindakan diskriminasi, serta hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi. Untuk itu Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang segera dan efektif, khususnya di bidang pengajaran, pendidikan, kebudayaan, dan penyebarluasan nilai-nilai anti diskriminasi dengan tujuan untuk memerangi berbagai prasangka yang mengarah pada praktek-praktek diskriminasi.
Sejak dimulainya reformasi 1998, harus diakui telah terdapat beberapa kebijakan yang secara siginifikan melarang dan menghapuskan diksriminasi. Misalnya, Inpres Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Inpres ini keluar sebagai respon atas kerusuhan terutama yang terjadi di Jakarta, Surakarta, dan Medan, yang secara eksplisit bersumber pada berbagai bentuk diskriminasi rasial terhadap golongan Tiong Hwa. Juga dicabutnya Inpres No.14/1967 tentang pelarangan adat istiadat dan kebudayaan Cina di ruang publik dengan Keppres No. 6/2000.
Berikut ini beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif:


·         Keputusan Presidium No.127/Kep/12/1966 tentang prosedur penggantian nama keluaraga Cina yang asli ke nama Indonesia
·         Inpres No. 14/1967 tentang pelarangan adat cina di ruang publik (telah dicabut dengan Keppres No. 6/2000 di masa Presiden Gud Dur).
·         Keppres No. 240/1967 tentang Warga Negara Indonesia Keturunan Tiong Hwa.
·         TAP MPRS No. 32/1966 tentang pelarangan penggunaan bahasa dan aksara mandarin dalam media massa dan dalam nama toko atau perusahaan.
·         Presiden Habibie telah membuat Inpres No.26/1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi-non pribumi serta meniadakan pembedaan dalam segala bentuk.
·         Keputusan BAKIN No.Kpts-031 sampai 032 tahun 1973 tentang pembentukan struktur dan kewenangan Badan Koordinasi Masalah Cina.
·         Memo BKMC-BAKINNo.M.039/XI/1973 yang menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama.
·         Surat Menag No.MA/608/80 yang menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama
·         Surat Menkokesra No. 764/X/1983 menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama
·         Surat Mendagri No.477/2535/PUOD/90 menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama



PENGERTIAN ETNOSENTRISME

Sebagai konsekuensi dari identitas etnis muncullah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi.

Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.

Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel.

Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama (Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati; manusia humanis.

Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan. Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. Helmi (1991) misalnya menemukan bahwa generasi muda etnik Cina memiliki sikap etnosentrik lebih rendah daripada yang tua. Temuan ini membuktikan bahwa semakin terikat seseorang terhadap etniknya maka semakin tinggi pula etnosentrisme yang dimiliki, sebab generasi tua etnik Cina umumnya memang masih cukup kuat terikat dengan negeri leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan masyarakat mayoritas lainnya.

Ketergantungan merupakan faktor penting yang menentukan etnosentrisme. Wanita yang notabene lebih tergantung terhadap keluarga dan kelompok memiliki sikap etnosentrik yang lebih tinggi. Sebuah penelitian mengenai etnosentrisme pada etnis Cina membuktikan bahwa wanita etnis Cina memiliki sikap etnosentrik lebih tinggi daripada laki-laki etnis Cina (Helmi, 1991). Hal ini nampaknya juga berlaku untuk etnik-etnik lainnya, karena praktis saat ini wanita masih lebih tergantung daripada laki-laki. Meskipun tentu saja sejalan dengan berkembangnya kesadaran gender dimana saat ini wanita menjadi semakin tidak tergantung lagi pada laki-laki dan kelompok, wanita akan menjadi tidak lebih etnosentrik daripada laki-laki.

Mungkin kita menduga bahwa keterikatan yang kuat dengan budaya etniknya akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang positif. Sebaliknya, menurunnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang negatif. Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat dengan budaya etniknya lantas melunturkan keindonesiaannya. Seseorang yang sangat etnosentrik belum tentu kurang Indonesianis ketimbang mereka yang kurang etnosentrik.

Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan.
 

http://smartpsikologi.blogspot.com
http://id.answers.yahoo.com 

http://sekitarkita.com

http://egarteknikinformatika.blogspot.com/2012/01/prasangka-diskriminasi-dan.html